Sosiologi Hukum Islam



BAB I
PENDAHULUAN
                                                                     
Sosiologi menempatkan hukum sebagai salah satu bentuk norma sosial. Norma itu sendiri, memiliki hubungan timbal-balik dengan masya-rakat. Dengan ungkapan lain bahwa pola perilaku masyarakat dibentuk oleh norma, tetapi pada gilirannya pola perilaku masyarakat yang melem-baga akan membentuk norma. Dengan demikian, pola pikir yang tersedia ada dua, yaitu deduktif manakala berpegang pada kaidah bahwa perilaku masyarakat (Islam) dibentuk norma (hukum Islam); dan induktif manakala berkeyakinan bahwa norma (hukum Islam) dibentuk oleh perilaku terpola masyarakat.

Sebagai tananan norma yang sangat urgen bagi individu dan kolektif, pada dasarnya hukum tersebut dapat menjangkau seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh hukum masing-masing dapat terarah dan menjadi kemaslahatan bagi manusia dalam praktek kesehariannya.[1] Karena itu, tujuan universal hukum menurut hukum klasik ada empat, yaitu:

1.     Penegasan tentang kepentingan-kepentingan umum dan kesejah-teraan semua individu dan masyarakat. Dalam masalah oposisi yang nyata antara hukum tekstual dan kepentingan umum yang konkrit, maka hukum tekstual menang. Hukum bukanlah sebuah akhir dalam dirinya sendiri, tetapi hanya sebuah alat realisasi individu-individu dan kesejahteraan masyarakat.
2.    Pemahaman umum tentang hukum oleh semua manusia adalah satu syarat untuk implementasinya. Pemahaman hukum, tujuan, dan maksudnya, perbedaan bentuk aplikasinya dan kemampuannya akan merealiasikan kesejahteraan manusia, menjadikan aplikasi sebuah pilihan dan sebuah tanggung jawab serta tindakan yang tidak bisa dihitung.
3.    Asimilasi hukum membuatnya satu bagian dari aktivitas manusia. Keobjektivitasan hukum menjadi bagian dari subjektivitas manusia itu sendiri.
4.   Aplikasi hukum adalah suatu individu dan komitmen masyarakat. Ini adalah sistem kepercayaan yang dimasukkan ke dalam praktis.[2]

Apabila melihat kepada aspek yang dikehendaki oleh hukum, maka dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sank si yang berlaku pada diri manusia; yaitu sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul-Nya, dan sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi ini mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum, namun dalam penegakan hukum menuntut intervensi (peranan) dari negara, karena hukum itu sendiri memerlukan campur tangan negara dalam pengakuannya terhadap hukum terutama hukum publik.

Hukum Islam (fiqh[3]) didasarkan atas berbagai sumber, diantaranya sumber-sumber agama, yaitu al-Qur’an dan hadits, sebagian lagi dari sumber sekunder yang disepakati oleh sebagian besar para ahli fiqh, yaitu ijma’ (konsensus/kesepakatan) dan qiyas (analogy). Disamping itu, ada juga sumber-sumber lain yang dipakai oleh beberapa mazhab tetapi ditolak oleh mazhab-mazhab lainnya. Sumber-sumber ini didasarkan atas keperluan yang tidak dapat ditinggalkan, adat istiadat (’urf), dan keadilan, seperti istihsan dalam mazhab Hanafi, maslahah mursalah dalam Maliki, dan sebagainya. Oleh karena itu, karakteristik hukum Islam (fiqh) adalah bahwa ia muncul tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya, tapi ia juga menyiapkan suatu warisan berharga untuk pembangunan hukum masa depan.

Hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum yang ada, mem-punyai keunikan tersendiri dari berbagai sistem hukum yang ada, hal ini dikarenakan sumber hukum Islam dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan sumber hukum yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, sehingga sangat dimungkinkan tujuan-tujuan hukum akan sesuai dengan tujuan penciptanya yang tergambar dari nilai-nilai hukum itu sendiri bagi masyarakat yang diaturnya atau hukum Islam juga berfungsi sebagai kontrol sosial masyarakat.

Dalam teori sosial, fungsi hukum sebagai kontrol sosial mempunyai 4 prasarat fungsional dari suatu sistem hukum, yaitu; Pertama, masalah dasar legitimasi, yakni menyangkut ideologi yang menjadi dasar penataan aturan hukum; Kedua, masalah hak dan kewajiban masyarakat yang menjadi sasaran regulasi hukum beserta proses hukumnya; Ketiga, masalah sanksi dari lembaga yang menerapkan sanksi tersebut; dan Keempat,  masalah kewenangan aturan hukum.[4] Keempat prasarat tersebut telah diakomodir dalam sistem hukum Islam, karena ketentuan hukum Islam berdasarkan ketentuaan hukum yang idiologis, terdapatnya hak dan kewajiban yang berkonsekwensi pada penegakan proses hukumnya jika terjadi penyelewengan terhadap hak dan kewajiban, sanksi dari tindakaan hukum yang dilakukan dan masalah kewenangan aturan hukum sangat memungkinkan untuk berubah.

Setiap hukum akan membentuk fungsinya di dalam suatu masyarakat termasuk hukum Islam, paling sedikit ada tiga perspektif fungsi hukum, yaitu:

Pertama, perspektif kontrol sosial dari hukum yang merupakan salah satu dari konsep-konsep yang paling banyak digunakan dalam studi-studi kemasyarakatan. Dalam perspektif ini dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang mampu hidup langgeng tanpa adanya kontrol sosial dari hukum sebagai sarananya. Kedua, perspektif sosial engineering, yang merupakan tinjauan yang paling banyak dipergunakan oleh para pejabat untuk menggali sumber-sumber kekuasaan apa yang dapat di mobilisasi dengan menggunakan hukum sebagai mekanismenya, dan untuk mewujudkan mobilisasi dengan hukum sebagai alatnya, terdapat prasarat utama yang harus dipenuhi agar suatu aturan hukum tergolong engginaar, yaitu: (1) penggambaran yang baik dari situasi yang dihadapi, (2) analisa terhadap penilaian-penilaian dan menentukaan nilai-nilai, (3) verifikasi dari hipotesa-hipotesa dan (4) adanya pengukuran terhadap efek dari Undang-undang yang berlaku.[5]

Pada kasus-kasus tertentu, penilaian terhadap efektifitas hukum Islam menjadi sangat penting. Artinya dalam rangka memberikan gamba-ran yang menyeluruh dari bekerjanya hukum di masyarakat sehingga hukum akan mengalami perubahan jika memang dipandang perlu, dan pada akhirnya dapat diukur dari kemampuan hukum untuk merubah dan mengatur masyarakatnya. Meskipun hukum Islam itu dari dan bersumber dari Tuhan, akan tetapi dalam pengimplementasiannya mempertimbang-kan pula aspek-aspek penilaian efek hukum bagi masyarakat yang diaturnya, jika masyarakat (manusia) sebagai objek hukum itu belum atau tidak mampu melaksanakannya, maka hukum akan bertindak sesuai dengan kadar kemampuan manusianya tetapi tetap dengan tidak merubah tujuan adanya hukum.

Ketiga, perspektif emansipasi masyarakat terhadap hukum. Perspek-tif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum yang meliputi objek studi seperti misalnya kemampuan hukum sebagai sarana penunjang aspirasi masyarakat, budaya hukum, kesadaran hukum, penegakan hukum dan sebagainya.

Dalam kajian hukum Islam, terdapat aspek kesadaran hukum yang lahir dari pemahaman masyarakat yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuhnya rasa keyakinan akan konsekwensi hukum, perspektif atau cara pandang manusia terhadap hukum sehingga melahirkan kesadaran untuk menerima hukum sebagai sarana yang mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat. Namun itu, tidak jarang dijumpai dalam beberapa masalah-masalah hukum Islam, masyarakat mengakui kesalahan-kesalahannya. Hal ini menujukkan adanya kesadaran hukum yang tinggi sekaligus pengakuan terhadap fungsi hukum di dalam masyarakat. Seperti halnya tujuan keberadaan hukum pada umumnya, hukum Islam sebagai institusi sosial mempunyai tujuan untuk menye-lengarakan keadilan dalam masyarakat, sebagai suatu institusi sosial, maka penyelenggaraan yang demikian itu berkaitan dengan tingkat kemampuan masyarakat itu sendiri untuk melak-sanakannya.[6]

Hukum menentukan bahwa manusialah yang diakuinya sebagai penyandang hak dan kewajiban dengan pertimbangan dari segi yang mempunyai arti hukum, sehingga hukumpun bisa menetukan pilihannnnya tentang manusia mana yang hendak diberi kedudukan sebagai pembawa hak dan kewajiban tersebut dan apabila hukum sudah menentukan demiki-an, maka tertutup kemungkinan bagi orang-orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan kewajiban.

Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal perlu dipahami secara menyeluruh (komprehensif) oleh segenap umat manusia, karena kesalahan dalam memahami hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.[7] Oleh karena itu, hukum Islam yang tumbuh dan berkembang dari waktu, tempat dan masa tertentu, perlu dikaji dalam berbagai perspekstif khususnya perspektif sosiologis. Hal ini sangat penting untuk memahami keberadaan hukum itu sendiri yang hidup pada masyarakat tertentu. Oleh karena kajian sosiologi hukum Islam sebagai salah satu ranah ilmu pengetahuan Islam, maka latar belakang munculnya hukum Islam dalam sosial kemasyarakatan diperlu-kan pemikiran secara komprehensif agar diketahui seluk beluk suatu ketentuan hukum.

Paradigma yang berkembang bahwa hukum Islam adalah hukum yang kejam, sadis dan tidak mempertimbangkan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) harus diluruskan seiring dengan berkembangnya kemampuan manusia untuk memahami hukum sebagai gejala sosial. Meskipun keberadaan hukum Islam dari Tuhan dan termasuk hak preogratif Tuhan untuk menentukannya, tetapi manusia sebagai objek hukumnya dapat menganalisa eksistensi hukum Islam itu sendiri dari sumber-sumber yang ada bagi manusia.

Produk pemikiran hukum Islam yang berupa peraturan perundang-undangan di negara-negara Islam bersifat mengikat; bahkan menjadi daya ikat yang lebih luas dalam masyarakat. Orang yang terlibat dalam perumusannya juga tidak terbatas pada kalangan ulama atau fukaha semata, tetapi juga para politisi dan cendikiawan lainnya berperan melegislasikan. Masa berlaku peraturan perundang-undangan biasanya dibatasi, baik dibatasi secara eksplisit maupun secara implisit.




[1]Ajaran Islam mempersiapkan, mengarahkan, dan membimbing manusia untuk menjadi makhluk yang bertanggung jawab (mukallaf). Untuk itu ia diberi segala fasilitas untuk hidup terhormat, yang dibutuhkannya dalam mengemban amanah yang dipercaya kepadanya. Hal yang menonjol adalah nafsu –yang merupakan sumber daya penggerak kehidupan manusia, dan aka–yang merupakan sumber daya pengendali, serta agama–yang merupakan sumber pembimbing dan penunjuk jalan dalam mengarungi lautan kehidupan. Ali Yafie, Ijtihad Dalam Sorotan, Editor: Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 66
[2]Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, Cet. I, Alih Bahasa: Jajat Hidayatul Firdaus dan Neila Meuthia Diena Rochman, (Jogyakarta: Prisma-sophie Pustaka Utama, 2003), hlm. 85-86
[3]Secara lebih populer, fiqih biasanya didefinisikan dengan al-‘Ilm bi al-Akam al-Syar‘iyyah al-‘Amaliyyah al-Muktasab min Adillatihā al-Tafshliyyah (ilmu mengenai hukum-hukum syar’i (hukum Islam) yang (berkaitan dengan) perbuatan/tindakan (bukan aqidah) yang didapatkan dari dalil-dalilnya yang spesifik). Fiqh juga didefinisikan denganMajmuat al-Akām al-Syar‘iyyah al-‘Amaliyyah al-Mustafadah min Adillatiha al-Tafshi-liyyah (kumpulan hukum syar’i yang (berkaitan dengan) perbuatan/tindakan (bukan aqidah) yang terambil dari dalil-dalilnya yang spesifik). A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Cet. I, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 12
[4]Parson dalam Tom Campbell, Tujuh Teori Social (Sketsa Penilaian dan Perban-dingan), (Yogyakarta: Kanisius,1994), hlm. 220 
[5]Pandangan tentang hukum demikian dikemukakan oleh A.G. Peter lihat dalam Ronny Soemitro. Studi hukum dalam masyarakat(Bandung: Alumni, 1985), hlm. 10
[6]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.121
[7]Pranata hukum berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ketertiban dan ketentera-man dalam kehidupan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan kehidupan bersama yang mengacu kepada patokan tingkah laku yang disepakati, yaitu hukum. Lihat dalam Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cik Hasan Bisri (penyunting). Aspek-aspek sosiologis hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos1998), hlm. 124   
Sebelumnya Selanjutnya
Muat Lebih Banyak
Berita telah terbaru, silakan refresh lagi nanti